Chapter I
Pagi itu, Ayah pulang
dengan luka tusuk diperutnya.
Sudah
setahun ayah di PHK dari pekerjaan sebagai HRD Manajer, Perusahaan tak lagi
membutuhkan orang muda tapi pemalas seperti ayah.
Namun
Ayah, walapun masih muda, sering kali Ia batuk seperti kakek tua karena
candunya pada rokok yang sudah keterlaluan menurutku.
“Kita
masak apa yah? Mau makan apa hari ini”
Ayah
mengambil kertas dan menulis beberapa nama bahan makanan,
“Ini
kamu yang belanja, semuanya 50.000 minta uang ke ibu sana. ”
“siip..”
“skalian
mintain uang rokok ayah juga”
“iya
iya”
Ayah
memang jagonya masak makanan enak. Dulu sebelum dia di PHK, ayah jarang punya
waktu memasak makanan untuk kami walau aku sudah memintanya berkali-kali karena
Ibu sering lembur dan masakan ibu tidak enak, ugh benar-benar tidak enak. Dulu
aku pernah bertanya pada ayah kenapa dia tidak bekerja sebagai koki saja, ayah
bilang memasak hanya hobi, dia enggan menjadikan memasak sebagai rutinitas
hidupnya. Tapi toh lihat sekarang, setelah dia dipecat, ayahlah yang setiap
saat memasak untuk kami dirumah, sedang Ibu? Dia bekerja seperti orang gila.
Kadang pulang kerumah dua hari sekali, pernah yang terparah, ibu kerja seminggu
diluar kota lalu pulang, sehari dirumah kemudian pergi lagi katanya ada tugas
dinas atau apa entah, aku juga tak pernah tau persis apa arti istilah istilah
yang sering ibu utarakan padaku sebagai alasan dia tidak akan pulang dalam
beberapa hari. Aku pikir itu masih mending daripada Ibu pergi selama lamanya
dari rumah melihat ayah yang sudah tak punya pekerjaan lagi. Istri mana yang
tahan jika seluruh beban rumah tangga ditanggung olehnya. Apalagi setelah di
PHK ayah terkesan malas-malasan mencari pekerjaan baru untuk mengembalikan
harga dirinya di keluarga ini.
Aku
menghampiri ibu yang sedang mengemas baju-bajunya ke dalam koper tanda Ia akan pergi lagi dalam waktu
lama.
“bu….”
“ya
Andin..
“Ibu
mau pergi?”
“Iya
sayang, ibu mau ke papua, survey lokasi untuk cabang baru disana, ayahmu mana?”
“ada,
nonton. Ini bu… daftar belanjaan. Trus ayah juga minta duit rokok katanya”
Aku
menyodorkan kertas itu pada ibu, Ibu tak mengambilnya. Ia hanya duduk disamping
koper besarnya dan menatapku dengan wajah serius.
“Andin,
kamu masih rutin setor tunai untuk rekeningmu di Bank kan? Uang tabungan
pendidikan yang sering ibu kasi semuanya kamu simpen ke bank kan?”
“iyalah
bu. Untuk apa dibelajain, kan ibu juga ngasih jajan tiap bulan. Kenapa? Ibu mau
pinjam uang tabungan andin dulu?”
“
bukan sayang. Ibu Cuma mau memastikan saja,”
ibu
lalu mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari dompetnya.
“ini,
ambil seperlunya untuk belanja hari ini dan rokok ayahmu. Sisanya simpan untuk
belanja nanti kalau ibu sudah pergi”
“Oke
bu bendahara. Hahhahhaa”
“sekarang
kan kamu bendaharanya.. ibu mau pergi dulu. Kamu belanja sana. Dan Andin,
tolong panggil ayahmu kesini, ibu mau bicara.
“Oke
siap.”
Kuberi
tau ayah soal panggilan ibu, kemudian bergegas kekamar mengganti baju.
∞
Kamarku ini, sengaja ku pilih warna
merah untuk cat dan wallpapernya, untuk segala bantal dan lemarinya, merah
seperti warna lipstick favorite ibu. Merah seperti warna senja di musim
kemarau. Entah kenapa aku suka warna merah, misterius, selalu meminta ditebak.
Aku mematut diri didepan cermin besar
dikamarku dengan bingkai jati ber cat merah. Aku suka sekali cermin ini, Ayah
yang membelikannya. Katanya cermin ini mahal. Selain cukup besar, ukiran
bingkainya rumit namun tidak memberi kesan kuno. Aku sempat berdebat dengan ibu
soal dimana bagusnya cermin ini diletakkan, dikamarku atau kamar ibu dan ayah.
Aku merengek tak mau mengalah, ibu pasrah dan akhirnya disinilah benda ini
diletakkan.
Selesai berganti baju, kuambil dompet
dan segera ke swalayan terdekat untuk membeli bahan makanan pesanan ayah. Di
ruang tamu, aku sekilas menengok ke kamar utama. Ayah keluar kamar dengan wajah
penuh amarah, namun aku tak berminat bertanya apa-apa. Kupikir mungkin ada
masalah lagi, biasanya kalau bukan soal ibu yang lama akan pulang pasti soal uang saku ayah yang kurang, setahuku ibu
selalu memberikan ayah uang saku lebih tiap kali dia keluar kota, dan biasanya
ayah tak akan banyak bicara lagi, dilepasnya kepergian ibu dengan senyum sumringah.
Ayah dan ibu memang jarang bertengkar, pun setelah ayah dipecat, mereka masih
seromantis dulu, apalagi ibu memang punya suara selembut bulu angsa, sedang
marahpun suara ibu masih terdengar lembut.
Sepulang dari swalayan, kuletakkan
belanjaan didapur dan segera menemui ayah, kucari ayah ke kamar, kamar sudah
kosong, ibu sudah berangkat, koper ibu sudah tak ada, tapi dimana ayah? Kucari
ayah ke teras belakang, nihil. Atau ayah pergi nganterin ibu ya? Pikirku. Tapi
kok tumben? Ku tepis segala tebak-tebakan dikepalaku, Perutku sudah lapar dan
belum ada makanan yang masak. Tak banyak pikir, Kurebus sebungkus mie instan
dari kulkas.
Jam 7 malam, ayah masih belum pulang.
Handphone ayah belum aktif, ibu apalagi. Acara Televisi tak banyak membantu
mengusir sepi sendirian dirumah ini. Kutelepon Dinda, kami putuskan jalan jalan
sebentar sekalian cari makan malam diluar.
“Om sama tante kemana ndin?” Tanya
Dinda sambil menyeruput kuah sotonya.
“tauk, ayah keluar ngga
bilang-bilang, kalau ibu tadi udah pamitan katanya mau ke Papua, ada kerjaan
disana”
“Oh, kemarin aku ketemu tante di cozy
cafĂ©, lagi makan siang sama temennya,”
“oh, klien ibu mungkin ya,”
“ tapi aku nya ngga berani negur,
kliennya om om cakep, hahhahah”
“om om cakep?”
“iya, makan bertiga, mama kamu sama
dua orang bapak bapak”
“lha? Tadi katanya om-om, sekarang
bapak-bapak?”
“iya, om-om cakep yang kebapaaan gitu
ndin,”
“siapa ya? Bajunya formal ngga?”
“Iya formal, mama kamu doang yang
engga, belahannya wow gitu”
“Huus!”
“Ya maap, kamu kan nanya,”
Aku sudahi jalan-jalan dengan Dinda,
dan pulang. Semoga ayah sudah dirumah. Harapku.
Pukul 05.00 pagi, ku tengok kekamar,
ayah belum pulang. Aku mulai khawatir.
Tak biasanya ayah seperti ini. Dan
bingungku bertambah saat tak tau kemana harus menanyakannya, aku tak punya
nomer kontak teman-teman ayah, om dan tante semuanya tinggal terpisah diluar
kota, apa mungkin ayah sedang berkunjung kerumah Om hendra..?
“Hallo,” Suara Om Hendra, kakak ayah
terdengar di ujung telepon.
“Om.. ini Andin. Papa ada disitu ngga
om?”
“Lho? Engga tuh Ndin, kenapa? Papamu
mau kesini?”
“Oh, ngga om, andin cuma nanya doang,
papa dari kemarin belum pulang, ngga bilang-bilang. Nomenya ngga aktif”
“waduh, coba telepon rumah nenek,
siapa tau papa kamu disana”
“iya om, makasih ya.” Telepon
ditutup.
Jariku baru mulai mencari nomer kontak
rumah nenek, saat bel kemudian berbunyi,
“ayah jangan-jangan,” tebakku. Ku
percepat langkah menuju pintu depan, pintu kubuka, tubuhku mematung, kaget.
“Ya Tuhan, Ayah!!!”
Ayah telah pulang.
Ayah pulang dengan luka tusuk diperutnya,
mukanya pucat, tubuhnya kaku, terkulai jatuh didepan pintu rumah sendiri,
Banyak darah segar mengalir dari luka menganga diperutnya,
merah. Semerah lipstick ibu, semerah langit senja dimusim kemarau. Semerah
bingkai cermin dikamarku.
Aku benci warna itu.
to be continued...