Wednesday 15 August 2018

Merah


Chapter I

Pagi itu, Ayah pulang dengan luka tusuk diperutnya.

Sudah setahun ayah di PHK dari pekerjaan sebagai HRD Manajer, Perusahaan tak lagi membutuhkan orang muda tapi pemalas seperti ayah.
Namun Ayah, walapun masih muda, sering kali Ia batuk seperti kakek tua karena candunya pada rokok yang sudah keterlaluan menurutku.
“Kita masak apa yah? Mau makan apa hari ini”
Ayah mengambil kertas dan menulis beberapa nama bahan makanan,
“Ini kamu yang belanja, semuanya 50.000 minta uang ke ibu sana. ”
“siip..”
“skalian mintain uang rokok ayah juga”
“iya iya”                     
Ayah memang jagonya masak makanan enak. Dulu sebelum dia di PHK, ayah jarang punya waktu memasak makanan untuk kami walau aku sudah memintanya berkali-kali karena Ibu sering lembur dan masakan ibu tidak enak, ugh benar-benar tidak enak. Dulu aku pernah bertanya pada ayah kenapa dia tidak bekerja sebagai koki saja, ayah bilang memasak hanya hobi, dia enggan menjadikan memasak sebagai rutinitas hidupnya. Tapi toh lihat sekarang, setelah dia dipecat, ayahlah yang setiap saat memasak untuk kami dirumah, sedang Ibu? Dia bekerja seperti orang gila. Kadang pulang kerumah dua hari sekali, pernah yang terparah, ibu kerja seminggu diluar kota lalu pulang, sehari dirumah kemudian pergi lagi katanya ada tugas dinas atau apa entah, aku juga tak pernah tau persis apa arti istilah istilah yang sering ibu utarakan padaku sebagai alasan dia tidak akan pulang dalam beberapa hari. Aku pikir itu masih mending daripada Ibu pergi selama lamanya dari rumah melihat ayah yang sudah tak punya pekerjaan lagi. Istri mana yang tahan jika seluruh beban rumah tangga ditanggung olehnya. Apalagi setelah di PHK ayah terkesan malas-malasan mencari pekerjaan baru untuk mengembalikan harga dirinya di keluarga ini.

Aku menghampiri ibu yang sedang mengemas baju-bajunya ke dalam  koper tanda Ia akan pergi lagi dalam waktu lama.
“bu….”
“ya Andin..
“Ibu mau pergi?”
“Iya sayang, ibu mau ke papua, survey lokasi untuk cabang baru disana, ayahmu mana?”
“ada, nonton. Ini bu… daftar belanjaan. Trus ayah juga minta duit rokok katanya”
Aku menyodorkan kertas itu pada ibu, Ibu tak mengambilnya. Ia hanya duduk disamping koper besarnya dan menatapku dengan wajah serius.
“Andin, kamu masih rutin setor tunai untuk rekeningmu di Bank kan? Uang tabungan pendidikan yang sering ibu kasi semuanya kamu simpen ke bank kan?”
“iyalah bu. Untuk apa dibelajain, kan ibu juga ngasih jajan tiap bulan. Kenapa? Ibu mau pinjam uang tabungan andin dulu?”
“ bukan sayang. Ibu Cuma mau memastikan saja,”
ibu lalu mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari dompetnya.
“ini, ambil seperlunya untuk belanja hari ini dan rokok ayahmu. Sisanya simpan untuk belanja nanti kalau ibu sudah pergi”
“Oke bu bendahara. Hahhahhaa”
“sekarang kan kamu bendaharanya.. ibu mau pergi dulu. Kamu belanja sana. Dan Andin, tolong panggil ayahmu kesini, ibu mau bicara.
“Oke siap.”
Kuberi tau ayah soal panggilan ibu, kemudian bergegas kekamar mengganti baju.
Kamarku ini, sengaja ku pilih warna merah untuk cat dan wallpapernya, untuk segala bantal dan lemarinya, merah seperti warna lipstick favorite ibu. Merah seperti warna senja di musim kemarau. Entah kenapa aku suka warna merah, misterius, selalu meminta ditebak.

Aku mematut diri didepan cermin besar dikamarku dengan bingkai jati ber cat merah. Aku suka sekali cermin ini, Ayah yang membelikannya. Katanya cermin ini mahal. Selain cukup besar, ukiran bingkainya rumit namun tidak memberi kesan kuno. Aku sempat berdebat dengan ibu soal dimana bagusnya cermin ini diletakkan, dikamarku atau kamar ibu dan ayah. Aku merengek tak mau mengalah, ibu pasrah dan akhirnya disinilah benda ini diletakkan.
Selesai berganti baju, kuambil dompet dan segera ke swalayan terdekat untuk membeli bahan makanan pesanan ayah. Di ruang tamu, aku sekilas menengok ke kamar utama. Ayah keluar kamar dengan wajah penuh amarah, namun aku tak berminat bertanya apa-apa. Kupikir mungkin ada masalah lagi, biasanya kalau bukan soal ibu yang lama akan pulang pasti  soal uang saku ayah yang kurang, setahuku ibu selalu memberikan ayah uang saku lebih tiap kali dia keluar kota, dan biasanya ayah tak akan banyak bicara lagi, dilepasnya kepergian ibu dengan senyum sumringah. Ayah dan ibu memang jarang bertengkar, pun setelah ayah dipecat, mereka masih seromantis dulu, apalagi ibu memang punya suara selembut bulu angsa, sedang marahpun suara ibu masih terdengar lembut.
Sepulang dari swalayan, kuletakkan belanjaan didapur dan segera menemui ayah, kucari ayah ke kamar, kamar sudah kosong, ibu sudah berangkat, koper ibu sudah tak ada, tapi dimana ayah? Kucari ayah ke teras belakang, nihil. Atau ayah pergi nganterin ibu ya? Pikirku. Tapi kok tumben? Ku tepis segala tebak-tebakan dikepalaku, Perutku sudah lapar dan belum ada makanan yang masak. Tak banyak pikir, Kurebus sebungkus mie instan dari kulkas.
Jam 7 malam, ayah masih belum pulang. Handphone ayah belum aktif, ibu apalagi. Acara Televisi tak banyak membantu mengusir sepi sendirian dirumah ini. Kutelepon Dinda, kami putuskan jalan jalan sebentar sekalian cari makan malam diluar.
“Om sama tante kemana ndin?” Tanya Dinda sambil menyeruput kuah sotonya.
“tauk, ayah keluar ngga bilang-bilang, kalau ibu tadi udah pamitan katanya mau ke Papua, ada kerjaan disana”
“Oh, kemarin aku ketemu tante di cozy cafĂ©, lagi makan siang sama temennya,”
“oh, klien ibu mungkin ya,”                                                    
“ tapi aku nya ngga berani negur, kliennya om om cakep, hahhahah”
“om om cakep?”
“iya, makan bertiga, mama kamu sama dua orang bapak bapak”
“lha? Tadi katanya om-om, sekarang bapak-bapak?”
“iya, om-om cakep yang kebapaaan gitu ndin,”
“siapa ya? Bajunya formal ngga?”
“Iya formal, mama kamu doang yang engga, belahannya wow gitu”
“Huus!”
“Ya maap, kamu kan nanya,”
Aku sudahi jalan-jalan dengan Dinda, dan pulang. Semoga ayah sudah dirumah. Harapku.
Pukul 05.00 pagi, ku tengok kekamar, ayah belum pulang. Aku mulai khawatir.
Tak biasanya ayah seperti ini. Dan bingungku bertambah saat tak tau kemana harus menanyakannya, aku tak punya nomer kontak teman-teman ayah, om dan tante semuanya tinggal terpisah diluar kota, apa mungkin ayah sedang berkunjung kerumah Om hendra..?
“Hallo,” Suara Om Hendra, kakak ayah terdengar di ujung telepon.
“Om.. ini Andin. Papa ada disitu ngga om?”
“Lho? Engga tuh Ndin, kenapa? Papamu mau kesini?”
“Oh, ngga om, andin cuma nanya doang, papa dari kemarin belum pulang, ngga bilang-bilang. Nomenya ngga aktif”
“waduh, coba telepon rumah nenek, siapa tau papa kamu disana”
“iya om, makasih ya.” Telepon ditutup.
Jariku baru mulai mencari nomer kontak rumah nenek, saat bel kemudian berbunyi,
“ayah jangan-jangan,” tebakku. Ku percepat langkah menuju pintu depan, pintu kubuka, tubuhku mematung, kaget.
“Ya Tuhan, Ayah!!!” 
Ayah telah pulang.
Ayah pulang dengan luka tusuk diperutnya, mukanya pucat, tubuhnya kaku, terkulai jatuh didepan pintu rumah sendiri,
Banyak darah  segar mengalir dari luka menganga diperutnya, merah. Semerah lipstick ibu, semerah langit senja dimusim kemarau. Semerah bingkai cermin dikamarku.
 Aku benci warna itu.

 to be continued...


Monday 28 December 2015

Epilog II

Sepuluh hari sejak sumpah kami ikat.

Relasi kami bukan tanpa syarat. Setelah dulu banyak hal sederhana yang saya buat rumit, semua batas wajar yang saya buat sempit. Saya mulai belajar bagaimana menyederhanakan sulit, Hubungan kami bukannya sepi konflik. Ditambah, kami sama-sama punya lidah setajam runcing. Berkali-kali saya jengkel, kesal, sebal, dan lebih dari sekali dua kali kami terlibat perdebatan sengit. Yang, tidak peduli betapa pun hebatnya, tidak pernah sanggup bertahan lama. Ejekan konyol dan lelucon bodoh selalu berhasil memecahkan tawa dan membuat kami berdamai kembali. Dan cuma dia satu-satunya orang yang bisa dengan bebas memanggil saya dengan sebutan apa pun yang dia mau.


Note; Dan pula rupanya saya masih perempuan egois yang minta dibimbing agar tidak menjadi semakin,


Monday 7 September 2015

Epilog



Dulu kejar-kejaran di belakang gang, sekarang kejar-kejaran dibelakang waktu.
Dulu takut pagi karna omelan mama, sekarang takut pagi karna harus kerja lagi.
Dulu jalan kaki santai sekali, sekarang naik motorpun ngitungin waktu.
Dulu lari-lari ngga pake sendal ngejar layangan, sekarang lari-lari pake sepatu dikejar pagi.

Dulu tahan banting kena angin malam, sekarang kena angin sore sudah bikin ngilu.
Dulu makan seenaknya makan sepuasnya, sekarang makan seenaknya sakit setelahnya.
Dulu jadi jomblo bukan masalah, sekarang masih menjomblo bisa petaka.
Dulu menikah bukan ukuran sempurna, sekarang mencari sempurna harus lewat menikah.

Dulu, mama bilang "jadi anak baik", sekarang Papa bilang "jadi istri
baik-baik"
Dulu menjadi tua agar dihormati, sekarang menjadi tua tak lagi diminati,

Dulu, 



Memang..
Pada akhrinya kita pelan-pelan dimakan waktu.
Dia akan mengambil hal-hal yang baik darimu. Lalu membawamu pelan-pelan pada ketidakberdayaan,
Lumpuh pada badanmu, mematikan inderamu. 
Habis. 
Lalu menjadi Tua itu KUTUKAN.

Sunday 5 July 2015

Saya Bermimpi

Saya bermimpi,
tentang rumah bercat oranye dengan teras maha luas.

Saya bermimpi,
tentang perempuan lanjut usia, duduk tersenyum memandang anak-anak berlarian dijalan kecil depan rumahnya..

Saya bermimpi,
tentang perempuan cantik berambut panjang, sibuk mengenakan sepatu, memperbaiki dandanan buru-buru ingin lekas berangkat..

Saya bermimpi,
tentang dua orang anak, lelaki dan perempuan, sibuk bertengkar tentang sesuatu entah apa..

Saya bermimpi,
tentang orang-orang diteras rumah, tertawa, memetik gitar dan bernyanyi beberapa nada seolah masalah bukan bagian dari mereka.

Saya bermimpi,
tentang seorang pria, duduk menyeruput kopi ditemani laptop dan seorang perempuan dengan bayi dipangkuannya,

Saya bermimpi,
tentang seorang bayi satu tahun, mengepalkan tangan sambil menyesap botol susu hangat dari si perempuan, matanya bulat cerah memancar memandangi sepasang manusia dihadapannya, menatap lugu seolah berkata "kaliankah semestaku?"

lalu.. saya bermimpi...

Sunday 21 June 2015

Punk dan hal-hal yang belum selesai

Apa yang kamu pikirkan waktu kamu denger kata punk?
mohawk? ngamen pake baju item? tindikan? kencing sembarangan? anti kemapanan? 

beberapa waktu lalu saya sempat dinasehati seseorang, "Why do you hate someone when you don't know exactly how the person is?" walaupun sebenarnya maksud saya bukan seperti itu, tapi kita ngga akan bahas soal benci membenci disini, dan emang ngga maksud bahas apa-apa juga sik -_-


saya iseng nulis enak aja soal punk sambil nunggu beduk subuh. 
Bahas punk emang ngga kan selesai-selesai. berdasar pada pengalaman, nanya definisi punk ke orang-orang yang passionnya bukan di punk emang susah dapet jawaban positif. susah.. lebih susah dari ngaduk aspal. Karna manusia selalu menarik, ada beberapa dari mereka sebisa mungkin mencoba membenci hal-hal diluar passionnya.

Tapi kalau kita mikir lagi, justru sebagai manusia yang pada dasarnya butuh "kebebasan", punk itu adalah ideologi, Ideologi yang ngajarin kita buat jangan mau jadi baut dari bagian sistem mesin besar yang tinggal diganti kalau rusak, jangan mau disetir sama media buat benci orang yang kita kenal aja ngga, jangan mau dibrengsekin sama orang, jangan mau disuruh atau ikutan brengsekin orang lain, jangan mau dibrengsekin sama negara, jangan mau diam saja liat orang kelaperan ngga punya makanan, jangan mau disetir buat melabeli orang, jangan mau dilabelin sama orang, jangan mau disuruh orang soal diri kita harus jadi apa, jangan mau dibikin mati rasa, dan lain-lain dll dll. 
Jadi selama ini punk mengajarkan kita buat jadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya, bukan jadi robot. Bebas yang memanusiakan. 

Nah, kalau soal hal-hal negatif yang sering dibicarakn orang tentang gaya "punk" seperti yang saya sebutin di atas;

Monday 8 June 2015

AA Project - Tanralili


Saya lebih senang mengabadikan Alam ciptaan Tuhan lewat kamera tua yang saya miliki daripada harus bermain dengan nafsu manusia yang berkedok seni tanpa kedewasaan, Think‬..

Sunday 7 June 2015

Aku sedang

Insomniaku tak lagi kambuh.  
Tips dari google tentang  tidur tanpa bra dan hanya berbalut kemeja  warna putih yang sengaja kubeli  ini memang sangat membantuku.

Namun sudah pukul 12 malam saat ini kutulis, yang tadinya aku sudah bersiap tidur, mematikan lampu dan mengganti pakaianku seperti biasanya, namun rupanya tuan bantal belum mau kutiduri. Kugeser badan kekanan dan kiri tapi pikirku masih bergelantung mencari-cari.

Aku sedang rindu aroma tubuhmu sayangku,
aroma  therapy paling menenangkan selama hidupku selain wangi kopi buatan mama.

Tubuhmu beraroma hujan pertama dimusim kemarau.  Kepalaku tak henti membayangkan punggungmu yang berbalut kaus hitam kumal, tempat kusandarkan lelah dipenghujung hari.
Tubuhmu tempatku menyelinap kala malam menyusup pelan, dadamu bantal bulu angsa paling lembut, aku pernah jatuh berkali-kali disitu dan menolak bangun kembali.

Kuputuskan untuk menulis ini karna mulutku sudah bosan berkata “aku rindu kamu” setiap kali kita berbicara tanpa kau paham rindu seperti apa itu.

Aku bisa saja merinduimu seperti adik yang merindukan kakaknya, seperti saudari yang merindukan saudaranya, seperti sahabat yang merindukan sahabatnya, seperti murid yang merindukan gurunya, namu nyatanya aku merinduimu lebih dari itu, seperti daun yang rindu disapa angin, seperti ombak yang rindu pasir dipantai, seperti bumi yang rindu cahaya matahari, seperti tanah yang rindu dibasahi hujan. Seperti itu, Aku. 

Sudah lama tak bertukar isi hati,
Maukah kau berbagi rindu dilembar ini?





Thursday 5 March 2015

Senja paling beer bersama Tuan biru langit.

25 Februari 2015.

Aku bertemu semesta.
Penantian beberapa tahun yang tak pernah runtuh oleh yakin.
Menyentuhnya, membelainya, dulu kulakukan dalam khayal anak kecil.
Melihatnya, aku menyerah.
Mata itu, beer.
Aku pemabuk yang rela muntah berkali-kali hanya untuk meneguknya sekali lagi.
Benar-benar tunduk.
Hanya sekedar obrolan singkat dan ciuman hangat dikeningnya.
Kami berpisah, sebentar.
Kemudian.......

1 Maret 2015



Mata itu kembali menghentikan waktuku.
Tak ada hal lain yang ingin kulakukan,
Hanya memeluk, memeluk, menyandarkan lelah 743 hari yang kulewati tanpanya selama ini.
Lelah yang kusimpan di pundak sendiri.
Semestaku kembali.
Dia senang bercanda, tak ada peluk.
Hanya tunduk sipu malu-malu dan selip selip tawa yang tak kumengerti maksudnya.
Curi curi genggam yang menggemaskan.
Genggam yang hampir mustahil kurasa, kudapat, kulakukan.
Aku mulai hafal aromanya.


3 Maret 2015

Pukul 5 Senja.

Tik. tok. 
Tik. tok.

Jarak kami tak lebih dari 2cm atau kurang, atau entahlah.
Tak sempat kuhitung lagi jarak saat dia sudah sedekat itu.
Lalu bukan diciuman pertama, entah dikeberapa.
Aku mulai gugup.
Ruangan ini, mungkin waktunya berhenti.
Lalu Hening.
Hening..

......................................................
Dua kami jadi satu.
Kukira rindu sudah lenyap.
Tapi segalanya masih tersimpan di bahu kokohnya yang kuremas tak ingin lepas.
Desah nafasnya memabukan.
Gigit gigit kecil kami.
Genggamnya,
Lebih erat..
Pelukan-pelukan.
Ciumnya lagi, lalu sekali lagi.
Gelas kopi dan alunan musik.
Aromanya mulai menjalari hidungku.
Aku rasa aku akan menyerah.....

Sayangku,

Semesta menepati janji, melihat matamu memejam, desahku yang coba kau redam.
Merasuki geliat lincah lidahmu dan hempas tubuh yang tak henti mendayu.
Biar lenyap segala lelah.
Pada lekuk tubuhmu kujatuhkan beban paling lelah.
Lepaslah..

Aku hampir takluk. 
Belum sepenuhnya.
Katanya aku ragu. Mungkin bukan ragu. Hanya butuh waktu.
Kau terlalu menggoda untuk membuatku ragu.
Masih ada hari kedepan...

Kepada Tuan Biru Langit,
Siapkah aku jatuh keatasmu sekali lagi?
Bisakah kali ini kau benar-benar jatuh kedalamku.
“Terimakasih untuk setiap candu yang kau hadirkan bersama aroma tubuhmu”
Kuatlah kau bersamaku.  
Hingga akhir.


Ada om gondrong habis ndusel ndusel langsung kruntelan sarung bali depan laptop. -_-








Saturday 14 February 2015

Palu, 14 Februari 2015



                                                                     

Kepada :

    Tuan Biru Langit






                                                                    "Saya Cinta Kamu".


Jam 4 pagi tadi, selesai chating sama kamu dan belum bisa tidur sampai surat ini dibuat, tapi menyemangati diri sendiri lebih lelah daripada tidak tidur sama sekali.

Thursday 20 November 2014

Tak suka Kejutan



Aku tak suka Kejutan!

Kecuali dari Dzat yang kusebut Tuhan. Lagipula sekuat apapun menolak, toh aku tak bisa lari dari berbagai supprise yang tak habis-habis.
Iya. Anggaplah ini bentuk penerimaanku sebagai hamba yang mengabdi pada penciptaNya. Kuterima dengan manut, mantap tak mau gusar. Wujud penerimaanku sebagai manusia yang sadar bahwa degub bukanlah milik jantung. Ia hanya pemberian, aku tak punya kuasa untuk mengontrol nafas sendiri.  

Nah kalian tau kan kejutan? Hal-hal yang datang dalam hidupmu tanpa kau kira-kira sebelumnya, tak tertebak, misterius, lebih pada ajaib.

Kalian pernah terkejut? 
Apa? Sering? TOSH! Kalau begitu.
Kita semua pernah terkejut. Untung-untung jika kau tak punya penyakit jantung. Jika punya, tentu sudah lama kau tunduk. Terkena stroke, atau lumpuh. Yah.. mungkin bukan sekarang, nanti saat umurmu masuk lima puluh.

Kejutan pertamaku, saat umurku 13 Tahun.
Ibu meninggal.

Semalam aku masih berbincang diteras rumah dengannya, menanyai ini itu, perihal hidup. Mungkin dia tak habis pikir kenapa anak gadis berumur 13 tahun melontarkan pertanyaan rumit yang mungkin sekejap membuatnya lupa bahwa izrail telah mendatanginya dalam mimpi. Memberitahu perihal ajal yang datang tak lama lagi. Malam itu dia tak sempat menjawab semua pertanyaanku, kubuat rencana akan bertanya esok malamnya lagi. Tapi apalah aku yang hanya berencana dengan segala ini itu. 
Esoknya, selesai apel sekolah jam 7 pagi, kepala sekolah mendatangiku, katanya ada bapak menjemput, ku ajak sang adik bungsu pulang bersama naik motor rongsokan milik bapak waktu itu. Diperjalanan entah sambil menangis atau tidak, aku tak sempat melihat matanya sebab dia berada didepan, bapak mengatakan Ibu telah tiada. Seperdua detik dari kata-katanya, mulutku bergumam “Innalillahi waiinailaihi rojji’un”.

Ibu hanya demam katanya, jam 1 malam dia minta diantarkan ke rumah nenek. Jam 7 pagi, Ibu tiada. Sebegitu cepat maut datang, sebegitu cepat kami diberi kejutan. Aku tau penyakit itu telah bersarang dibadannya entah berapa waktu. Dulu Ibu pernah masuk beberapa kali kerumah sakit, cairan infus hampir 19 botol, pernah koma sebulan, kukira dia akan dipanggil. Maka sudah kusiapkan hati untuk kemungkinan paling bengis. Tapi toh Ibu sembuh lagi. Rupanya Tuhan punya rencana lain.


Lalu Kejutan Kedua,  Aku lupa.
Kejutan Ketiga,  Masih tak kunjung ingat.
Kejutan keempat, lima, enam dan seterusnya... Aku sudah mulai terbiasa.

Misalnya saat kuputuskan tak tinggal bersama bapak lagi sejak SMP, bingung soal uang sekolah yang kerap ditagih, terancam tak ikut ujian nasional. Lalu esoknya si bapak guru datang memberi surat keterangan Beasiswa berprestasi. Aku terpilih. Biaya pun lunas. Kejutan.  :))

Misalnya saat pria yang kupacari hampir 4 tahun menghamili perempuan lain, mereka sepakat aborsi, dia minta maaf setulus hati, maaf kuberi sebab mendendam bukan gayaku. Belum sampai disitu, semuanya lalu datang bertubi-tubi, soal orang tuanya yang tak setuju dengan perempuan beda suku, soal anaknya yang sarjana sedang aku yang hanya ijasah SMK. Ini salah satu kejutan paling tragis. Aku pilih pergi. Toh Harga diriku masih baik, 4 tahun kujaga agar tak lewati batas garis. Mungkin itu alasannya bercinta dengan perempuan lain, sebab tubuhku tak mampu dijamahnya lebih lagi, hanya sekedar ciuman hangat disudut cafe. Tapi kupikir perempuan baik-baik selalu dijauhkan dari pria jahat bukan? Aku bersyukur. Tuhanku Maha Adil. :))

Masih ada satu  lagi, Kejutan Favoriteku.
Disaat Aku sudah enggan bermain hati, putus asa soal menanti. Lalu sosok pria lain datang dengan warna warni. Mengajari banyak hal soal hidup layaknya Ibu. Menasehati tentang segala salah layaknya bapak, menjaga seperti kakak, manja seperti adik. Dia lah pelengkap. Timbul keinginan menua bersamanya, berbincang tentang masa muda dengan secangkir teh hangat diteras rumah. Ada anak, ada cucu, ada kucing-kucing. Tapi entahlah, sekarang dia lebih suka kelinci.

Tapi Tuhan Maha Pemberi Kejutan. 
Hari ini, pukul  7 pagi mimpi masih bergelantung. Pukul 8, cinta masih kutanam, aku masih berbunga. Pukul 9, kusempatkan berkirim pesan dengan pacar, mengecek apa tidurnya nyenyak, apa makannya cukup.
Pukul 10, message dalam kotak virtual segi empat menyala nyala dilayar ponselku. “Lyn, Bisa pulang? Bapak sakit”.




Kejutan baru,
Oh Tuhan, aku tak suka kejutanMu kali ini.



*sebagian adalah curhat tak penting.






Thursday 18 September 2014

Kode.





Hai, Al.

Coba lihat jemarimu, lalu hitung, telah berapa lama sejak pertama kali kau tiba disitu? 

Hari ini, jika semesta belum memelukmu, waktu masih mengitarimu,
Kau mungkin tengah meneguk segelas kopi atau beer bersama sahabat dan saudara yang tak bisa lagi kau bedakan mereka. Merayakan hidup yang entah keberapa ribu hari, kalian terlihat akrab, membuat kopi mu terasa lebih manis.
Kau gembira, tertawa selebar pelangi.

Namun nyatanya,

Perlahan-lahan kata dan tawa berubah jadi remah-remah waktu
yang tersapu digilas langkah buru-buru.
Lama-lama rumput hijau di kepalamu menguning lalu mati;
bersamaan dengan pelangi yang memudar dan tak hadir lagi.
Al, Ini bukan sajak atau puisi

Ini air mata dari kata-kata yang yang kehilangan nyawanya

di tangan waktu, ia tercekik realita dan tujuan yang tergesa-gesa

Kami bersyukur kau telah dipelukNya lebih dulu.

Sebab disini, Kau tidak akan melihat apa-apa selain
kecemasan dan keputus asaan.



Kau pasti tau, 

banyak bacaan ayat dan doa diam-diam dalam sujud Ibumu.

menitip harap padaNya, "jaga anakku dalam lindunganMu" 

berdoa agar kau tak bertemu panas neraka yang sering dibicarakan orang-orang, meski mereka tak pernah merasakan mati sama skali..


Kau pun mungkin tau, banyak rindu-rindu yang menggantung, yang tak mampu disebut satu-satu

dari saudara sedarah yang kau tinggalkan tanpa suara.

Ada kopi-kopi dingin dalam gelas sahabat-sahabat,
dikerumuni senyum-senyum pasrah, bahwa kopi pun tak lagi sanggup memanggilmu kembali.

Sebab,,

kode kematian telah membawamu dengan caranya sendiri…

Namun bergembiralah Al, sebab doa-doa selalu datang dari sini.

tersenyumlah selebar pelangi surga.
kau bebas, anganmu lepas, tanggungmu lunas.

Tapi tolong sekali-kali tengok kami, ingatkan seberapa mengerikannya nafas terakhir.
seberapa menyenangkannya surga Tuhanmu.

Agar kami tau, bahwa hidup tidak lebih panjang dari waktu.

ada abadi yang lebih abadi.
ada cinta yang lebih Maha cinta..
Selamat Hari lahir, Al.

Saya sudah kirim sekotak doa berisi pesan :
 “TUNGGU, KAMI AKAN PULANG”
Ditulis untuk memperingati hari kelahiran (Alm) Amran Amrin. 
Rest In Peace. 

Tuesday 19 August 2014

Cari Ny(aman) saja lah.



Jadi gini, ada yang salah dari hubunganmu ketika kamu merasa selalu gagal mencari pasangan yang walaupun terlihat sempurna namun belum mampu menyempurnakanmu.

coba dipikir-pikir lagi, mungkin Kriteria kamu yang ketinggian atau kamu yang ngga sesuai Kriteria pasanganmu.
Saya pun pernah mengalami hal yang sama, bingung sebenarnya apa yang kurang didiri saya hingga saya selalu gagal dan kemudian gagal lagi dalam mempertahankan hubungan.
Akhirnya tadi waktu lagi makan sambil ngunyah tulang ikan.. saya nemu jawabannya.

Ibaratnya gini, kamu akan menyewa kamar termewah disebuah hotel. Kamar tersebut terletak dilantai 100, nah anggap saja 99 kamar yang akan kamu lewati ini adalah poin-poin kriteriamu dalam mencari pasangan, misalnya harus ganteng, cantik, jenius, cerdas, kaya, mapan, terkenal,keren dan bla-bla lainnya. Kemudian setelah masuk ke hotel, kamu naik lift menuju lantai 100. Dan setelah kamu mendapatkan pasangan yang sesuai kriteriamu dan akhirnya kamu sampai dilantai 100, kamu baru tau ternyata tuh kamar ngga ada jendelanya jon -_-

By the way Belum pernah ngerasain tinggal dirumah atau minimal kamar yang ngga ada jendelannya kan?

Saya pernah, dulu waktu saya dan keluarga masih mengontrak sebuah rumah yang memang ngga memiliki jendela sama sekali, dan alhasil saya selalu ngga betah dirumah, nyiksa banget, sirkulasi udara tidak berjalan baik dan otomatis neraka kecil tercipta, gerah, basah ketek, biji keringat tumbuh dengan biadab, ngga enak lah pokoknya.



Nah kembali ke hotel, kamu nyampe dilantai 100 tapi ternyata kamar yang sudah kamu sewa tidak memiliki jendela.  Dan satu-satunya kamar dengan jendela banyak itu ada dilantai paling bawah. Jadi kamu punya dua pilihan, tetap memilih tinggal dilantai atas dengan kamar mewah tapi ngga ada jendelannya, atau milih turun lagi.
kalau saya sih, mending turun , nyari kamar yang sederhana tapi punya banyak jendela, kemudian stuck disitu.

Lalu apa hubungan kamar tersebut dengan cerita cinta kamu yang bermasalah? Jadi, setelah kamu menemukan orang yang sesuai kriteria dan kamu berhasil jadian sama si doi, ada satu yang ngga kamu temukan di diri dia.. apa? Itu adalah RASA NYAMAN. Rasa nyaman ini seumpama kamar dengan jendela-jendela yang terbuka luas, menyenangkan, menenangkan dan melapangkan. 

Setinggi apapun kriteria yang kamu patok untuk menjalin sebuah hubungan, sebanyak apapun kelebihan orang itu , pada akhirnya kamu tetap akan menyerah pada rasa  nyaman. Memilih turun kebawah, melewati kembali 99 lantai untuk menemukan kamar berjendela yang nyaman, sebab kenyamanan, akan membuatmu merasa aman. :))

Silahkan mencoba, 
semoga kali ini kamu tak salah menaiki perahu, tak salah memilih partner mendayung, dan selamat sampai tujuan.  Seperti kata Duta SO7 :

" pilih perahu tidaklah mudah

kita tentu tak mau tenggelam

perahu ini milik kita
naiklah jangan pernah kau turun

   bagai mengarungi lautan lepas

menghadapi ombak badai,”